Sri berjalan agak gontai. Dia baru melahirkan bayi laki-laki di Klinik Bumi Sehat, dua hari lewat. Wajah ibu muda itu masih terlihat lelah. Siang itu dia akan pulang ke rumah.

Robin Lim meminta maaf untuk meninggalkan kami sebentar, mendekati Sri dan memeluknya. Dia mencium pipi Sri, kanan dan kiri. Lalu mencium sang bayi yang masih merah. “Oh my baby,” kata Robin.

Kembali ke wajah Sri, Robin menatap lekat. Saya menatap dari dekat. Berkaca-kaca mata Robin.

Dia merangkul Sri, dan menciuminya lagi berkali-kali. “Kalau ASI-nya tidak lancar, hubungi ke sini ya. Naik apa pulang? Ada mobil?” “Ada Bu,” kata Jaya Sandi yang kemudian menuntun istrinya meninggalkan klinik.

Robin melepas kepergian pasangan itu. “Melahirkan adalah peristiwa yang sangat beresiko bagi seorang perempuan. Sakit. Mereka bertaruh nyawa. Saya selalu menganggap pasien yang melahirkan di sini sebagai anak saya. Sentuhan kecil saja sangat berarti bagi mereka. Dengan begitu kesakitan mereka berkurang,” kata Robin.

Saya mengunjungi klinik Yayasan Bumi Sehat sebagai fasilitator mendampingi peserta pelatihan penulisan untuk bidan dan kader kesehatan yang dilaksanakan oleh Balicitta Indonesia. Pelatihan yang dilaksanakan di Kerobokan, Kuta, 23-27 Mei 2011 itu diikuti oleh lima peserta. Dua peserta dari Kutai Timur, dua dari Bireun, Aceh dan seorang dari MCHIP (Maternal and Child Health Integrated Program) USAid, Jakarta.

Rambutnya dikepang, sepanjang pinggang. Robin tampak seperti wanita Indian. Memang ada darah masyarakat asli Amerika yang diwarisi Robin dari ayahnya yang juga berdarah Jerman. Bentuk matanya cenderung seperti orang Mongoloid. Ibunya memang keturunan Filipina dan Cina. Kerut di sekitar matanya semakin nyata ketika menyimak ucapan lawan bicara.

Dia jarang tertawa. Bila sedang mengeluarkan kalimat berlelucon, senyumnya tipis saja. Menarik memerhatikan kalung yang dipakai Robin. Untaian manik-manik itu digantungi kayu berbentuk burung hantu. Hewan berperan menentukan jalan hidup Robin.

Suatu ketika di awal tahun 90an, dua bayi burung hantu jatuh dari pohon kelapa tak jauh ke dekat Robin. Dia pun merawat kedua burung malang itu. Penduduk desa menganggap peristiwa itu sebagai suatu tanda bahwa Robin  harus merawat mereka. Masyarakat desa cukup percaya kepada Robin, karena sebelumnya proses persalinan anak ke-limanya Hanoman, dilakukan di rumahnya sendiri, 19 tahun silam.

Saya berbisik kepada Arisandi Wahyuni, bidan dari Kutai Timur. “Bu Yuni anak berapa?” “Dua mas,” “Mereka lahir dimana?” “Yang pertama dengan bidan, yang kedua di rumah sakit,” Yuni tersenyum malu.

“Ya, kami yang bidan saja sering maunya melahirkan harus sama dokter. Kok sama teman sendiri nggak percaya,” kata Yuni.

Robin mendedikasikan dirinya untuk melayani masyarakat setelah ia kehilangan sahabatnya, adiknya dan salah satu bidan yang melahirkan anak-anaknya sendiri. Semua dalam waktu satu tahun. Niat itu didukung oleh pengalaman kehadiran neneknya, Vicenta Munar Lim, lewat mimpi. Itu tak lama setelah Robin melahirkan Hanoman.

Vicenta seorang dukun beranak di wilayah pegunungan Baguio, Luzon, di kepulauan Filipina. Selama dan setelah Perang Dunia II, Vicenta banyak menolong persalinan ibu di wilayahnya.

Dalam mimpi itu, sang nenek memberikan hadiah kepada Robin. “Dia memberikan seorang bayi Cina dengan baju kuning yang cantik. Saya menafsirkan itu sebagai permintaan agar saya meneruskan keahliannya. Saya merasa nenek telah menurunkan ilmunya pada saya. Setiap ada kesulitan dalam melayani pasien, saya selalu mendapat solusi,” kata Robin.

Sang nenek hadir di dalam mimpinya untuk kedua kalinya, Robin pun memutuskan untuk belajar kebidanan. Wanita kelahiran Arizona, 24 November 1956 ini berangkat ke tanah kelahirannya untuk belajar kebidanan dan mengantongi sertifikasi dari North American Registry of Midwives. Dia juga memiliki sertifikasi dari Asosiasi Perbidanan Indonesia.

Robin memiliki delapan anak –lima anak biologisnya. Anak sulungnnya berusia 35 tahun. Belum lama ini dia mengangkat seorang anak dari ibu yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. “Anak ibu lima, kenapa tidak ikut Family Planning?” tanya Mia Pesik, senior program manager MCHIP. “Itu lima-limanya di-planning kok,” kata Robin tersenyum.

Saya berusaha menahan tawa mendengar pernyataan tersebut. Family Planning bisa berarti Keluarga Berencana, program rezim orde baru untuk menekan angka pertumbuhan penduduk. Tapi bagi Robin, family planning adalah kehadiran anak direncanakan oleh orang tua.

Bumi Sehat memiliki 40 karyawan, sebagian relawan (volunteer) berkebangsaan asing, dan 9 bidan. “Proses persalinan tidak mengenal waktu, kadang jam 3 pagi. Tapi hampir selalu saya harus menemani persalinan. Saya tidak menangani langsung, hanya berada di dekat ibu, memegang tangan mereka atau mengusap wajah mereka. Meyakinkan kalau mereka pasti bisa melawati masa sulit itu,” kata Robin.

Bumi Sehat tidak menerapkan tarif untuk pelayanannya. Semua gratis, bahkan untuk obat, kecuali pasien ingin memberikan donasi. Dari mana dana operasionalnya? “Sampai sekarang saya tidak berhenti mengirim permohonan dana, ke luar negeri,” kata dia.

Bumi sehat tidak hanya melayani pasien masyarakat lokal. Banyak juga orang berada dari luar kota datang untuk bersalin ke klinik Bumi Sehat. “Teman saya dari New York datang melahirkan di sini. Dia bilang anjingnya saja tidak akan dia bawa untuk melahirkan di rumah sakit di New York. Dia tidak ingin melahirkan di sana,” kata Robin.

Belakangan ini seiring kian melambungnya reputasi Robin, semakin banyak orang asing melahirkan di klinik sederhana itu. “Mereka memberi donasi, sering jauh lebih besar dari yang mereka butuhkan untuk melahirkan di negaranya sendiri. Orang Rusia banyak datang. Mereka kan banyak uang. Tapi mereka tidak ingin melahirkan di negerinya.”

Di Rusia, menurut beberapa pasien yang pernah bersalin di Bumi Sehat, bayi baru lahir langsung dimasukkan ke ruang bayi dan tidak dipertemukan dengan ibunya selama lima hari. “Siapa yang mengatur begitu kalau bukan produsen susu. Supaya bayi diberikan susu formula,” kata Robin.


Di dunia kesehatan intervensi produsen susu formula begitu menggurita. Untung saja, akhir-akhir ini gerakan masyarakat untuk mengimbangi  semakin kencang, seperti yang dilakukan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Robin aktif mendorong inisiasi menyusui dini (IMD). Dia selalu meyakinkan ibu-ibu untuk tetap memberikan air susunya paling tidak sampai bayinya berusia 6 bulan.

Di Bumi Sehat tidak ada celah masuk bagi konsumsi susu formula. Namun produsen susu selalu saja mengendap-endap, mencuri kesempatan.

Pernah ketika Robin tidak sedang berada di klinik, seorang bidan menghubungi dia lewat telepon. “Ibu ini ada orang dari Nestle datang bawa sepeda motor mau dikasih untuk bidan,” tiru Robin. “Saya bilang bidan untuk meminta mereka pergi. Kita tidak butuh motor. Sekarang mereka kasih motor gratis, besok mereka akan datang lagi untuk paksa kami memberi susu formula kepada bayi.”

Untuk donasi, Robin pun pilih-pilih. Dia menolak berapa pun sumbangan bila berasal dari perusahaan pertambangan. “Mereka merusak hutan, merampas hak masyarakat. Kita tidak perlu uang mereka,” Robin menyebut nama perusahaan multinasional tambang emas di Papua.

Dengan sikap tegasnya, Robin sering terengah-engah mengongkosi operasional yayasan. “Klinik di Ubud ini lumayan bisa hidup. Tapi kalau ada uang pasti semua lari ke klinik di Aceh,” kata dia.

Bumi Sehat membuka klinik di Meulaboh, Aceh, pasca tsunami, tahun 2005 “Sudah banyak LSM asing keluar dari Aceh, tapi kami masih bertahan di sana,” kata dia.

Bumi Sehat sudah memiliki ambulans. Sebenarnya bukan mobil yang benar-benar dirancang untuk ambulans, tetapi mini van. Warnanya pun tidak putih. Sumbangan dari Rotary Club. “Kami berusaha selama empat tahun untuk bisa punya ambulans. Akhirnya ada yang memberikan. Lebih mudah memasukkan seekor kuda ke lubang jarum, daripada memasukkan orang kaya ke surga,” kata Robin getir.

Menurut Robin, ambulans itu tidak hanya digunakan untuk membawa pasien bersalin. Sering Bumi Sehat mendapat panggilan masyarakat ketika ada kecelakaan lalu lintas. “Kalau tidak ada orang di jalan yang membantu mereka? Kami tidak bisa biarkan,” kata dia.

Dia bercerita di Ubud ada tiga ambulans lain, milik dua lembaga yang mengurusi anjing liar. “Mereka mudah sekali mencari dana untuk bisa punya ambulans. Orang lebih menghargai anjing daripada nyawa manusia.”


Angka kesehatan ibu, bayi, dan anak baru lahir (KIBBLA) di Provinsi Bali sangat baik. Bali masuk tiga besar dalam catatan angka kematian ibu terendah secara nasional, di atas target nasional yang ditentukan Kementerian Kesehatan. Tahun 2010, angka kematian ibu di Bali tercatat 107. Bali urutan ketiga setelah DKI Jakarta (64) dan Bengkulu (104).

Angka kematian ibu secara nasional tahun 2010 sebanyak 11.534 kematian. Jawa Barat mencatat angka tertinggi, 2280 kematian, lalu disusul Jawa Timur (1766) dan Nusa Tenggara Timur (642).

Sudah banyak usaha dan program pemerintah dijalankan untuk menekan angkat kematian ibu, bayi baru lahir dan anak. Pelatihan menulis yang digelar BaliCitta Indonesia ditujukan untuk mengumpulkan pengalaman lapangan para bidan dan kader kesehatan. Mereka ujung tombak dari upaya meningkatkan derajat KIBBLA. Sayangnya, peran mereka jarang diapresiasi.

Pembelajaran dari pengetahuan yang diekstraksi dari pengalaman para bidan dan kader kesehatan dapat menjadi modal untuk membangun kesadaran dan dukungan publik bagi KIBBLA. Kunjungan ke Klinik Bumi Sehat selain untuk latihan penggalian informasi penulisan juga untuk menginspirasi peserta dengan kisah kekaryaan Robin Lim.

Robin tergerak mendirikan klinik nirlaba karena prihatin dengan tingginya data statistik tentang angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Kala itu dia meyakini, salah satu faktor penyebab tingginya angka tersebut adalah mahalnya biaya persalinan.

Sejak 1994, Robin membuka klinik dengan fasilitas yang serba terbatas. Yayasan Bumi Sehat didirikan tahun 2006 melalui akta notaris. Yayasan inilah yang menaungi Klinik Bumi Sehat. Kini rata-rata setiap bulan, Bumi Sehat di Nyuh Kuning menangani 40-60 persalinan.

“Saya ingin sekali masuk ke daerah lain. Bahkan kalau bisa saya ingin kaki saya satu di sini, satu di Filipina. Di sana angka kematian ibu juga masih tinggi. Tapi, dengan kemampuan dana yang ada inilah yang bisa saya lakukan,” kata Robin.

Salah satu upaya upaya dalam KIBBLA adalah menekan peran dukun dalam persalinan. Di banyak wilayah, masyarakat masih sangat mengandalkan dukun beranak. Padahal umumnya mereka bekerja tanpa standar medis, faktor higienis urusan belakang. Tapi di Meulaboh, Bumi Sehat menjalin kemitraan dengan 13 dukun beranak.

Para dukun tidak harus berada di klinik, tapi tetap tetap tinggal di kampung mereka. Peran mereka dimanfaatkan sebagai simpul informasi. “Kita tidak bisa bilang kepada masyarakat jangan pakai dukun, tapi mereka harus diajak untuk kerja sama. Mereka juga punya teknik bagus yang bisa menolong nyawa ibu, yang tidak dipelajari di sekolah bidan. Mereka belajar dari alam.”

Di Aceh, Bumi Sehat memberikan perangkat kerja kepada dukun seperti partus set. Bahkan telepon seluler. Agar ketika mengetahui ada pasien butuh pertolongan, dukun bisa langsung menghubungi bidan. “Tapi kami tidak memberikan gunting. Kami tidak ingin mereka setelah memakai gunting lalu…,” Robin membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya seperti gunting, lalu mengusapkannnya ke celana. “Mereka harus menunggu bidan untuk pemotongan tali pusat.”

Bumi Sehat membayar dukun 50.000 rupiah setiap kali menolong persalinan. Di kampung, dukun biasanya bertindak sebagai pendamping ibu yang melahirkan. Pendampingan menyeluruh itu yang membuat masih banyak masyarakat tradisional percaya kepada jasa dukun beranak.

“Mereka melakukan apa saja kebutuhan ibu bersalin, mencuci kain, memasak air. Di klinik kami yang mencucikan kain yang digunakan setelah bersalin. Dukun sering bilang, ‘jangan, itu tugas saya.’ Mungkin mereka takut kalau mata pencahariannya terganggu dengan kehadiran klinik dan bidan,” kata Robin.

Kami diajak untuk melihat kamar persalinan. Ada bak mandi (bath tub) berbentuk seperempat lingkaran di dalam ruangan itu untuk menangani kelahiran dalam air (water birth). Berendam di air hangat yang steril, diyakini dapat mengurangi stress dan rasa sakit yang dialami ibu saat proses persalinan. Robin memakai metode ini ketika melahirkan anak keempatnya di Hawaii. Penyanyi Oppie Andaresta melahirkan anak pertamanya di Bumi Sehat dengan metode water birth.

Seorang bidan peserta bertanya kenapa ranjang untuk bersalin rendah, ranjang tidur biasa. Bukan tempat tidur tinggi seperti layaknya pada fasilitas kesehatan modern. Secara ergonomis, ranjang rendah itu tidak nyaman bagi bidan, karena harus agak membungkuk. “Kita (manusia) adalah mamalia yang secara naluri kalau melahirkan harus dekat ke bumi. Jadi, kenyamanan bidan bukan tujuan, yang terpenting adalah ibu,” jawab Robin.

Saya menggelengkan kepala takjub mendengar argumentasi itu.

Layanan Bumi Sehat dibangun di atas tiga pedoman: respect for nature, respect for culture, and the wise implementation of the Science of Medicine (Menghormati Alam, Menghormati Budaya, dan implementasi bijak dari Ilmu Kedokteran). Robin menghindari sebisa mungkin penggunaan obat kimiawi, hampir  semua obat yang digunakan di Bumi Sehat bahan herbal.

Untuk kasus resiko ibu bersalin seperti tekanan darah tinggi, Robin memaksimalkan manfaat bawang putih dan mentimun. “Kalau ASI ibu tidak keluar atau kurang lancar, kami berikan nasi merah. Itu sudah terbukti ratusan tahun kan,” kata dia.

Bumi Sehat tidak memakai banyak teknologi dalam operasionalnya. Ini sesuai dengan misi operasional persalinan gentle birth. Penanganan persalinan dilakukan secara alami dengan memperhatikan semua aspek tubuh manusia secara holistis. Menurut Robin persalinan adalah proses yang sakral dan harus dijalankan dengan cinta kasih. “Kami punya mesin USG. Itu saja. Buat apa menghabiskan uang banyak untuk teknologi? Secanggih apapun alat teknologi, kalau penanganan tidak dilakukan dengan kelembutan dan cinta kasih, tidak akan membuat Ibu merasa nyaman,” kata dia.

Di dekat ranjang bersalin ada tangga bambu yang diikat di jendela. Seutas kain yang ujungnya disimpul mati, terikat pada salah satu anak tangga. Tangga dan kain itu merupakan fasilitas persalinan juga, metode tradisional yang banyak dijalankan dukun beranak seperti di Kalimantan.

Ibu bersalin akan memegang ujung kain tersebut dengan kedua tangannya, menekuk lutut seperti sedang bergantung menghadap dinding. Persalinan dilakukan dengan posisi antara setengah berdiri dan jongkok. Ini membantu ibu mengeden atau merejan ketika proses persalinan. Tidak percaya? Saya pun begitu pada awalnya.

Robin memegang kain biru muda yang terikat pada tangga itu, terlihat dekil. “Kami ingin mencuci atau mengganti kainnya. Tapi ini kami anggap jimat. Sudah banyak ibu yang berhasil melahirkan dengan memegang kain ini. Banyak success story-nya,” Robin tertawa.

Selain water birth, Bumi Sehat juga menjalankan metode lotus birth, menunda pemotongan tali pusar. Metode tradisonal ini meyakini plasenta dan ari-ari memberikan nutrisi, batang sel dan antibodi kepada bayi beberapa saat setelah persalinan. Setelah dilahirkan, plasenta dibungkus, diberi bunga-bungaan dan pewangi alami, diletakkan hati-hati di badan ibu.

Ada pelaku metode lotus birth membiarkan bayi masih terhubung dengan plasenta beberapa hari sampai plasenta mengering. Robin cukup berhati-hati menjalankan metode ini. Karena di beberapa kepercayaan lokal Nusantara, seperti Bali, ari-ari harus segera dikuburkan di rumah orang tua bayi.

Dalam bukunya “Placenta, The Forgotten Chakra” (Plasenta, Cakra yang Terlupakan), Robin melukiskan teknik ini secara indah. Robin juga menulis buku lain seperti “After The Baby Birth”, “Panduan Post Partum”, “Eating for Two, Buku Masak untuk Wanita Hamil dan Menyusui”, “Butterfly People”, “ASI Ekslusif Dong”, dan “Anak Alami”.

Robin mengajak kami keluar. “Bisa bantu saya, siapkan karpet?” kata Robin kepada Made Suastini, seorang bidan Bumi Sehat. “Saya kenal dia dari kecil sekali,” kata Robin menunjuk Suastini. “Kalau kerja di luar, pasti mereka mendapat gaji lebih besar. Tapi mereka lebih memilih di sini. Karena cinta,” kata dia.

Menurut Robin, bidan adalah profesi yang bisa membuat orang bahagia dan senang. “Senang?“ tanya saya. “Ya, kalau di Bali dengan menjadi bidan adalah dharma.” Dharma. Kebajikan.

Robin mengajak kami duduk di karpet. Dia meletakkan kepala di atas bantal dan tidur menyamping. Suastini mengeluarkan benda serupa lilin, namun lembut, dari sebuah kotak berlabelkan huruf Cina. Suastini membakar sebatang, menunggu baranya rata. Lalu dia pun mendekatkan ujung bara ke telapak kaki Robin. Bumi Sehat menyebut ini terapi moksa.

“Ini membuat rileks, mengurangi kesakitan saat kontraksi. Kalau Ibu merasa panas, tinggal bilang ke bidan dan akan dipindahkan ke kaki yang lain.” Dia menuturkan, bahan itu mudah didapatkan di toko obat Cina. Harganya tak terlalu mahal. Bahan itu juga bisa membantu laki-laki yang mengalami sulit tidur. “Buuu… panaaasss…,” kata Robin setengah bercanda. Suastini tersenyum dan memindahkan moksa ke kaki Robin yang lain.

Salah satu kasus kehamilan yang beresiko pada nyawa ibu dan bayi adalah posisi bayi sungsang. Bagaimana teknik Robin mengatasi itu? “Sujud. Seperti sholat,” katanya singkat.

Robin mengambil sebuah boneka bayi. Dia menempelkan boneka itu di perutnya dengan posisi bayi membelakangi dirinya dan menutupi boneka itu dengan kain. “Ini cara tradisional untuk memperbaiki posisi bayi yang terbalik,” Robin mengambil posisi bersujud. Suastini dan rekannya berdiri di sisi kiri dan kanan Robin, memegang masing-masing ujung tali. Keduanya melakukan sentakan lembut.

Dalam beberapa kali sentakan boneka itu pun berubah posisi, berbalik menghadap perut Robin. “Teknik ini sering dipakai dukun kampung. Di sekolah bidan tak pernah diajarkan ini,” kata dia.

Robin juga mempraktekkan teknik lain untuk melepas ketegangan saat proses kontraksi. Dia meminta seorang bidan peserta duduk membelakanginya. Robin pun menekan satu titik di bahu kanan dan kiri dengan kedua ibu jarinya. “Bapak-bapak selalu saya ajarkan ini,” kata dia.

Tak lama, Robin meminta seorang staf mencarikan helm untuknya. “Maaf saya harus pergi, karena saya harus mendatangi pasien yang kemarin lahir di sini. Bayinya menangis terus.” Bayi menangis lama wajar dalam masa nifas (post partum). Masih kewajiban bidan untuk mendampingi ibu dan bayi pada masa nifas. Ada bidan lain di klinik yang ketika itu sedang tidak ada kegiatan persalinan. Tapi Robin memilih untuk berangkat.

Robin berpamitan. Dia memeluk empat peserta pelatihan dan mencium mereka penuh keakraban. “Terima kasih sudah datang ke sini. Mampir ke klinik Bumi Sehat kalau sedang di Meulaboh. I love you,” kata Robin kepada Desita, bidan dari Bireuen.

Keluar dari pintu kantor klinik, mata Desita tampak berkaca-kaca. “Saya yang bukan pasien saja diciumnya begitu tulus. Besok saya akan mencium semua pasien saya.”

Luangkan sejenak waktu untuk memilih Robin Lim untuk CNN Heroes 2011. Anda hanya perlu memasukkan alamat email atau akun facebook. Satu alamat email (berapa email yang Anda punya?) atau akun facebook bisa melakukan vote maksimal 10 kali sehari. Voting ditutup pada 7 Desember 2011.

Related Posts: