Mungkin ini terlalu romantis dan ketinggalan zaman. Teknologi tidak menjawab sepenuhnya persoalan kematian ibu dan bayi.

Perserikatan Bangsa Bangsa menargetkan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDG’s) tercapai tahun 2015. Kurang dari tiga tahun lagi. Tiga dari tujuan ini berkaitan dengan kegiatan kami di Yayasan Bumi Sehat, klinik bersalin dimana saya berpraktek sebagai bidan. Tujuan ke-4 sampai 6 dalam MDG’s adalah mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.

Sayangnya, dunia kami belum bisa mencapai tujuan-tujuan ini yang mengadvokasi hak dasar manusia untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Tanggal 5 Mei adalah Hari Kebidanan Internasional dan saya berada di kota General Santos, Mindanao, Filipina. Pada pertemuan Philippine League of Midwives National Congress, lebih dari 800 bidan bersemangat mencapai solusi nyata untuk masalah tingkat kematian ibu dan bayi.

Menurut World Health Organization (WHO), 981 wanita meninggal setiap hari akibat komplikasi terkait dengan kehamilan dan melahirkan. Angka itu lebih besar dengan korban yang jatuh bila setiap hari dua pesawat Boeing 747 jatuh dari langit. Jika pesawat terbang jatuh pasti akan menjadi berita utama di media massa. Dan pastinya, kebanyakan orang tidak akan berani terbang hingga masalah ini diatasi. Namun, hampir 1.000 wanita meninggal setiap hari, mereka belum tua dan tidak sakit, mereka adalah wanita hamil dan melahirkan.

Kematian ini didorong oleh kemiskinan, yang menyebabkan kekurangan gizi, dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Padahal kebanyakan kematian ini bisa dicegah. Yang lebih menyedihkan lagi, menurut Amnesty International, jumlah kematian ibu dan anak yang tercatat adalah jauh di bawah yang nyata karena kurangnya data yang akurat.

Wanita yang paling berisiko adalah minoritas asal Afrika dan Asia yang tinggal dalam kemiskinan, masyarakat suku, transmigran, atau terlantar, dan memiliki sedikit akses terhadap informasi. Banyak dari wanita yang pergi ke bidan untuk pelayanan kesehatan reproduksi termasuk dalam kategori ini.

Sebagai bidan, saya mendedikasikan kehidupan saya untuk berusaha membantu masalah ini, sambil memikirkan mengapa tragedi ini terjadi. Kita perlu terus bertanya, bagaimana kami bisa mencapai solusi nyata untuk masalah ini.

Pada blog saya di Huffington Post ada yang berkomentar: “Karena inilah ada rumah sakit, walaupun kebidanan itu romantis, sudah ketinggalan zaman dan harusnya dilarang.”

Saat dibutuhkan, rumah sakit dan ahli khusus adalah keajaiban. Namun, saya yakin bahwa metode layanan kesehatan bidan-ke-ibu adalah cara terbaik untuk mengetahui apakah Ibu dan bayi menghadapi risiko. Saat dirawat oleh bidan, Ibu memiliki kesempatan lebih untuk hasil kelahiran yang terbaik, dengan lebih sedikit kebutuhan teknologi dan jauh lebih sedikit biaya. Dari pengalaman kami dengan pasien di klinik Bumi Sehat di Bali dan Aceh, dimana lebih dari 4,000 bayi telah lahir, bidan menjadi penyedia yang peduli untuk mencegah tragedi.

Komentar di atas mungkin wajar dari orang yang datang dari negara maju seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa. Mungkin puluhan ribuan orang lain di Indonesia, tempat saya tinggal, berpikir serupa. Saya bersyukur pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Kesehatan tidak punya pikiran serupa.

Kementerian Kesehatan semakin banyak menginisiasi program yang meningkatkan peran bidan, terutama di desa terpencil yang mungkin penduduknya belum pernah melihat mobil. Tidak bisa dipungkiri, bidan adalah garda depan kesehatan masyarakat desa.

Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menghabiskan dana pada riset teknologi kelahiran. Statistik dari PBB bulan September 2010 menunjukkan AS jauh tertinggal dari banyak negara berkembang untuk tingkat kematian ibu saat melahirkan. Ibu yang melahirkan di AS lebih berisiko untuk meninggal akibat komplikasi kehamilan daripada wanita di 40 negara lain.

Dasar dari cara kami melayani Ibu, bayi dan keluarga adalah kepedulian pada mereka yang kurang mampu dan tidak memiliki suara. Sambil saya membuat tulisan ini, mungkin seorang ibu dari angka rata-rata 981 tadi baru meninggal dalam proses melahirkan. Ini tidak bisa diterima. Anda bisa bertepuk tangan dan mengatakan, “Saya percaya pada teknologi.” Tetapi ini tidak akan mengubah kenyataan. Jika ingin melihat tingkat kematian ibu dan bayi menurun, tepuklah tanganmu dan katakan, “Saya percaya pada bidan!”

Hari ini saya merayakan Hari Kebidanan Internasional di Filipina, tanah asal ibu saya. Sebelum ada banyak rumah sakit di sini, Lola (nenek) saya adalah seorang hilot, dukun tradisional. Dia menghargai alam dan budaya wanita. Kini, bidan punya pelatihan ilmu kesehatan yang bagus sekali.

Para bidan bisa berdiri kuat pada tiga kaki: menghargai alam, menghargai budaya dan tradisi, dan punya pemahaman pengetahuan yang kuat. Untuk saudari-saudariku terkasih, para bidan di luar sana: mungkin kita terlalu romantis dan ketinggalan zaman, mari jangan berhenti menyelamatkan nyawa dengan sentuhan cinta terhadap Ibu. Selamat Hari Bidan.


Foto utama oleh Verginie Noel.  

Related Posts: