Menggunakan tas plastik mudah terurai hanyalah solusi kosmetik yang berbahaya jangka panjang.

Tahun 2010 Pemerintah Provinsi Bali menjanjikan Bali akan bebas plastik tahun 2013.  Namun target ini masih mengawang-awang. Jumlah sampah plastik terus bertambah hingga 1600 ton per hari, meningkat lebih dari 200 persen dibanding statistik tahun lalu.

Desa-desa di Bali semakin terpolusi dan saluran air tersumbat akibat sampah plastik. Situasi sampah di Bali telah berubah dari sakit menjadi sekarat. Surfer papan atas Kelly Slater pernah mengritik pantai Bali yang kotor lewat akun twitternya pada tanggal 22 April 2012:

Halaman depan Koran Bali Daily juga menampilkan foto tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ilegal di kebun mangrove Nusa Dua dan mengutip para environmentalis yang melihat program permerintah ‘tidak-efektif’.

Tentu kita tidak lupa, majalah Time pernah menurunkan liputan “Holiday in Hell: Bali’s Ongoing Woes”.  Dan ketika tulisan itu muncul, pemerintah daerah yang merasa tercoreng mukanya menurunkan dua alat berat pengangkut sampah di Pantai Kuta. Liputan seperti ini dapat mempengaruhi pariwisata di Bali. Namun, secara jangka panjang pemerintah terlihat belum punya solusi. Apa yang telah pemerintah Bali lakukan sejak 2010 untuk membuat Bali bebas plastik?

Perda (peraturan daerah) untuk melaksanakan visi pemerintah tahun 2010 menjelaskan program yang akan menfasilitasi dan melibatkan masyarakat untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang (3R – reduce, reuse, recycle) plastik, termasuk ‘menghentikan plastik pada asalnya.’ Perencanaan mereka termasuk membantuk tim untuk mengawasi daur ulang, dan infrastruktur untuk mengumpulkan sampah dan teknologi untuk menciptakan tenaga dari plastik. Sekarang sudah tiga tahun lewat, dan hasil dari inisiatif ini, yang berkaitan dengan menggunakan kembali dan mendaur ulang, kurang kelihatan.

Jadi, bagaimana dengan mengurangi sampah? Tentunya ‘menghentikan sampah pada sumbernya’, daripada menciptakan sampah, bisa menjadi cara yang efektif untuk mengatasi masalah sampah. Daripada meneruskan ide ini, pemerintah memberikan insentif untuk toko menyediakan tas plastik yang mudah terurai (degradable bags). Namun, mempromosikan tas plastik yang mudah terurai sebenarnya akan meningkatkan jumlah sampah plastik karena pelanggan berpikir tas-tas ini ramah lingkungan, sehingga mereka tidak perlu mengurangi penggunaannya. Atau masyarakat akan merasa ringan saja membuang sampah plastik karena mereka berpikir akan terurai dalam beberapa saat.

Tas plastik yang mudah terurai tidak hancur secara keseluruhan, apa lagi dalam iklim dengan kelembapan tinggi seperti Indonesia. Pada iklim ideal untuk hancur pun, tas plastik jenis ini hanya terurai menjadi fragmen-fragmen plastik yang sangat kecil dan tetap berada dalam lingkungan. Menggunakan tas plastik mudah terurai hanyalah solusi kosmetik yang berbahaya jangka panjang dan membawa risiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Tas plastik mudah terurai mengandung logam berat untuk mempercepat proses hancurnya. Toksin ini masuk ke bahan makanan kita melalui saluran irigasi pertanian dan juga meracuni hewan atau kehidupan laut yang mengonsumsinya.

Tahun lalu ide untuk melarang tas plastik di Bali menambah momentum melalui Responsible Retailer Roundtable. Koalisi ini terbentuk dari pemerintah, pemilik toko dan kelompok peduli lingkungan. Pemilik toko ingin mengikuti peraturan melarang penggunaan tas plastik, asal pemerintah melaksanakannya. Namun, ide ini juga tidak ada lanjutan karena pemerintah belum menerapkan larangan terhadap tas plastik.

Melarang tas plastik bisa menjadi langkah pertama yang jelas dalam mengatasi masalah sampah di Bali. Tetapi peraturan yang begitu luas pastinya akan memerlukan komitmen pemerintah untuk penerapannya, bersama dengan dukungan publik. Saat ini kedua hal ini belum ada. Sebaliknya, pulau dengan populasi 3,5 juta ini telah tergantung dengan tas plastik sekali pakai (single use), dan mengharapkan pemerintah akan membuat sampah mereka hilang begitu saja.

Untuk menerapkan larangan terhadap tas plastik di seluruh pulau Bali, pastinya perlu dukungan kebijakan yang progresif. Misalnya dengan mulai menerapkan pajak tas plastik, dan regulasi ketat atau denda untuk pembuangan sampah ilegal, disertai dengan pendidikan publik mengenai pentingnya menjaga kebersihan pulau Bali.

Tas plastik sekali-guna adalah produk konsumer nomor satu di dunia. Tas plastik sering hanya digunakan selama beberapa menit saja, namun dapat meracuni lingkungan selama lebih dari 1000 tahun. Sudah saatnya Bali melarang tas plastik.

Bali Cantik Tanpa Plastik mendorong tujuan ini dengan pendekatan edukasi dan kesenian. Salah stunya dengan merilis lagu “Tolak Tas Kresek” ciptaan Gede Robi Supriyanto (Robi Navicula).  Lagu ini bisa dimanfaatkan seluas-luasnya untuk tujuan Bali tanpa plastik. “Tolak Tas Kresek” bisa diunduh di sini:

Related Posts: