Urban farming adalah sebuah gerakan untuk kemandirian pangan. Gerakan yang mendatangkan kegembiraan.

Mari lihat pekarangan rumah kita. Apa yang tumbuh di sana? Berapa banyak bagian yang tak termanfaatkan?

Di kota-kota besar, banyak orang menghabiskan banyak uang untuk membangun taman di rumahnya. Banyak pemilik rumah menjejali tamannya dengan tanaman hias yang mahal seperti Anthurium (gelombang cinta) atau Aglonema.

Beberapa tahun lalu terjadi demam harga melejit beberapa jenis tanaman hias. Namun tren itu hanya sesaat, karena ulah spekulan penggoreng harga. Bagaimana bisa sumber daya yang mudah diperbanyak seperti tanaman hias bisa seharga mobil.

Mereka yang dulu terkena tren tanaman hias mahal kini hanya bisa mengigit jari. Uang habis banyak tapi tanaman mereka tidak punya nilai ekonomi lagi. Parahnya, tanaman itu tidak bisa dimakan. Padahal sepetak tanah di pekarangan rumah bisa menghasilkan makanan sehat untuk konsumsi kita. Upaya pertanian tanaman pangan bisa dilakukan di lingkungan perkotaan, sering disebut urban farming atau urban agriculture.

Urban farming adalah sebuah gerakan sosial demi tujuan kedaulatan pangan (food sovereignty). Tentu saja dalam skala mikro rumah tangga. Dalam skala makro yaitu negara, kebijakan pangan Indonesia masih berorientasi pada ketahanan pangan (food security). Ancaman paceklik atau krisis pangan yang selalu dijawab pemerintah dengan impor akan menggerus kemandirian sebagai bangsa.

Urban farming tidak hanya bisa dilakukan di residensial horizontal. Di hunian vertikal seperti rumah susun atau apartemen pun bisa. Selama ada udara dan cahaya matahari, tanaman bisa tumbuh. Tanaman juga menambah pasokan oksigen dan memberi efek relaksasi sebagai hobi. Urban farming bisa menjadi wujud yang sesungguhnya dari gaya hidup hijau.

Logika definisi kesejahteraan berdasarkan tingkat pendapatan harus diubah. Dengan jumlah pendapatan yang sama, suatu rumah tangga bisa lebih sejahtera, yaitu dengan menekan jumlah pengeluaran. Sepetak tanah di sekitar rumah bisa menghasilkan sayuran sehingga mengurangi belanja rumah tangga. Bila serius, urban farming bisa jadi tambahan penghasilan.

Bagi penyuka makanan organik, urban farming adalah upaya paling mudah menjamin bahan pangan mereka tidak diintervensi bahan kimia seperti pupuk pabrik, insektisida, dan pestisida. Apalagi bahan pangan organik cenderung lebih mahal daripada bahan pangan biasa. Urban farming juga memudahkan para vegetarian memenuhi kebutuhan sayuran segar, yang dipetik langsung dari pekarangan rumah.

Urban farming bisa integral dengan pengelolaan sampah rumah tangga. Di Indonesia, pemisahan sampah organik dan non-organik bisa dikatakan sia-sia karena sistem transportasi sampah oleh pemerintah. Rumah tangga bisa melakukan pemisahan, tapi truk sampah tetap menyatukan sampah organik dan non-organik.

Setiap rumah tangga bisa mengolah sampah organiknya menjadi kompos untuk kebutuhan bercocok tanam. Produksi kompos bisa dibantu dengan alat komposter yang banyak dijual di Internet. Harganya tak mahal. Proses pengomposan bisa dibantu dengan mikrorganisme atau bakteri kompos EM4 yang mudah didapatkan di pasaran. Pembiakan bakteri ini juga bisa dilakukan secara mandiri.

Saya dan teman-teman menyewa kantor sekaligus tempat tinggal seluas 5 are (500 meter persegi) di jalan Drupadi, Denpasar. Ada lahan kosong sekitar 3 are yang bisa dimanfaatkan untuk urban farming. Kami menanam tomat, cabe, selada, sawi dan pok choy. Untuk sawi dan pok choy dibutuhkan sekitar 40 hari sejak penyemaian benih sampai siap panen. Perawatan kedua jenis sayuran ini tak sulit, cukup penyiraman tiap sore.

Sebelum penanaman perlu penyiapan tanah untuk media tanam. Selain kompos, tanah bisa dicampur dengan pupuk kandang atau sekam (kulit padi). Sebelum menanam sayuran, lahan bisa ditanami kacang tanah sebagai pengikat nitrogen yang akan meningkatkan unsur hara tanah. Penanaman kacang tanah juga bisa dilakukan berselang-seling dengan sayuran.

Di masa panen, kami mengalami pasokan sayur berlebih. Untuk menghindari kebosanan makan sayur yang itu-itu saja, kami menjualnya ke sebuah restoran di kawasan Renon, Denpasar. Mereka berani membayar lebih, dua kali lipat dari harga di pasaran karena kualitas sayuran sangat segar dan proses produksinya tanpa kimia.

Orientasi produksi sayuran belum profit, tapi demi keberlanjutan seperti pengadaan pupuk alami atau penataan lahan. Kami terus menata lahan agar hasilnya efektif dan taman sayur sedap dipandang dan mendatangkan kegembiraan. Ya, inilah tujuan urban farming yang sesungguhnya: kegembiraan.

Mari tanami pekarangan kita dengan gembira.

 

Related Posts: