Eco-mural menjadi aktivitas offline pertama Akarumput.com. Warna-warni pada dinding merangsang kesadaran lingkungan dan kebanggaan masyakat kota.

Kota Denpasar yang kekurangan sistem penanganan masalah lingkungan yang memadai memerlukan aksi lingkungan di tingkat akar rumput. Banyak pilihan untuk menyampaikan seruan kesadaran lingkungan kepada masyarakat. Salah satunya lewat seni rupa, dengan karya yang menjadikan jalanan sebagai ruang pamernya: mural.

Akarumput bersama beberapa kelompok turun ke jalan membawa ember dan cat. Sejumlah mahasiswa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang bernaung dalam Komunitas Djamur, dan murid Bali International School (BIS) ikut menggoreskan warna-warna cerah dan pesan ramah lingkungan pada tembok jalan yang biasanya kotor.

Kegiatan yang dinamai eco-mural ini dilakukan selama tiga hari di tembok sepanjang 55 meter di Jalan Pakisaji, dekat Hayam Wuruk, Denpasar Selatan. Aktivitas ini mungkin terjadi karena dukungan pemuda-pemudi Pakisaji yang selama ini ingin lingkungannya lebih bersih.

Mural yang dihasilkan antara lain gambar hutan yang gundul terbakar dengan keong membawa selang air, dan tertulis kata-kata, “Pemerintah Lambat, Hutan Tamat.” Gambar lainnya merepresentasikan ibu pertiwi secara modern, bermahkota gedung tinggi yang mengepung pohon-pohon tersisa. Sang ibu pertiwi dipeluk oleh dua perempuan yang memakai masker gas. Sebagian mural menyelipkan humor. Seperti lukisan tampak belakang tiga orang sedang mengencingi pot tanaman, dengan slogan di atasnya, “Save Water”. Bisa jadi, tidak kencing di kloset mengurangi konsumsi air bersih, dan mengalihkan urine ke tanaman yang lebih membutuhkannya.

BIS mendukung kebutuhan dana karena menganggap kegiatan ini efektif merangsang jiwa seni anak-anak, sekaligus menanamkan kesadaran lingkungan mereka. “Lucu sekali, saat aku mengajar di kelas, tidak pernah melihat murid-murid seantusias ini,” kata Kayti Denham, guru BIS, sambil tertawa. “Mereka sepertinya mengerti tujuan aksi masyarakat.”

Made Bayak, gitaris band hard rock Geekssmile, ikut berpartisipasi melukis bersama Damar, putranya yang berumur lima tahun. Bayak adalah muralis yang cukup berpengalaman. Guru seni di Sanggar Anak Tangguh Sukawati ini baru saja menyelesaikan proyek mural bersama Sumatran Orangutan Society yang berbasis di Ubud.

Pemuda Pakisaji adalah kunci utama dalam penyelesaian mural ini. Mereka membantu saat pelukis menggambar, mengatur lalu lintas, dan menyiapkan makan dan minuman bagi semua pendukung kegiatan. Selama tiga hari sebelum kegiatan mural, mereka membersihkan semua sampah di sekitar jalan Pakisaji dan membersihkan tembok agar siap dilukis.

Rasa memiliki pada lingkungan itu yang ingin dibidik Akarumput. “Tujuan utama dari kegiatan sini adalah membuat tetangga kami bangga dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Perasaan memiliki juga akan mendorong masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitar,” kata Gede Robi Supriyanto, koordinator acara yang ikut aktif melukis mural. “Ini adalah aksi berbasis masyarakat yang sebenarnya karena semua elemen dan sumber daya setempat saling mengisi satu sama lain,” kata vokalis Navicula ini.

Sumber daya setempat yang dimaksud Robi salah satunya adalah Sekolah Farabi Musik yang berlokasi di Jalan Pakisaji. Lembaga ini mendukung eco-mural dengan menyediakan sound system dan penggung untuk acara musik penutupan eco-mural pada Minggu petang. Navicula, Geekssmile, Qupitt dari Nosstress dan sejumlah band siswa Farabi tampil pada acara penutupan yang terasa hangat. Kehangatan yang diharapkan ke tempat lain di Denpasar agar terpicu membuat kegiatan serupa secara sporadis.


Foto oleh Rudi Waisnawa.

Related Posts: