Sampah adalah sumber petaka keelokan pariwisata Bali. Padahal bila dikelola dengan baik, sampah dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar.
Pulau Bali sudah sejak lama memesona banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Keindahan alam, kultur yang kuat, hingga fasilitas pariwisata yang kelas dunia, menjadikan pulau ini selalu mendapat predikat destinasi wisata terbaik di dunia. Tidak ada bandingnya.
Akan tetapi, segala kelebihan yang dimiliki Pulau Bali sekarang justru terancam oleh keberadaan sampah yang dihasilkan penduduk, pengelola wisata, maupun para wisatawan yang datang. Berbagai riset dan laporan menyebutkan, sampah di provinsi ini sudah mencapai kisaran 5.000 hingga 10.000 ton per hari.
Para penggiat lingkungan di Bali misalnya, menyebutkan satu orang penduduk mengeluarkan sampah padat 2,75 kg/hari dan limbah cair 3 liter per hari. Kalau jumlah penduduk Bali pada 2010 ini tercatat 3,9 juta jiwa (BPS), maka jumlah sampah yang dihasilkan penduduk Bali setiap harinya mencapai 10.725 ton sampah padat dan 11.700 ton limbah cair. Sungguh angka yang luar biasa besar.
Berdasarkan hasil studi pada tahun 2000/2001, khusus di empat daerah wisata utama Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan), jumlah anggota masyarakat yang mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah baru mencapai 50%, dan dari jumlah tersebut hanya 60% sampah yang bisa terangkut ke TPA. Sisanya masih tercecer seperti di jalanan, taman kota, pasar, dan tempat lain. Sampai sekarang, upaya minimalisasi sampah ke tempat pembuangan akhir melalui perubahan perilaku masyarakat belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Pemerintah Provinsi Bali sebenarnya terus berupaya mengatasi problem sampah. Sejak 1986, pemerintah telah membangun Tempat Pembuang Akhir (TPA) seluas 22 hektare di Suwung yang terletak di kawasan Sanur. Dengan menggunakan tiga sistem cara pemusnahan sampah, yakni pembakaran (incerator), sanitary landfill dan open dumping, TPA Suwung diharapkan dapat menampung atau memusnahkan sampah yang masuk dari wilayah Denpasar dan Badung, dan dua kabuten sekitar Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Sejak 12 Desember 2008, TPA Suwung menjadi instalasi pertama di Indonesia yang telah mengadopsi teknologi waste to energy (mengolah sampah menjadi energi listrik).
Sayangnya, inovasi yang coba diterapkan itu tidak berjalan baik. Penelitian Putu Rusdi Ariawan, mahasiswa Fakultas Teknik Universias Udayana misalnya, menyebutkan, berdasarkan fakta di lapangan, proses pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Suwung hanyalah Open Dumping, yaitu sampah hanya diletakkan di lapangan terbuka tanpa ada proses lebih lanjut. Sehingga, semakin hari sampah semakin menumpuk dan membutuhkan lahan yang lebih luas.
Kesepakatan empat kabupatan dan kota untuk mengelola sampah secara bersama-sama juga disinyalir sangat memberatkan. Lokasi TPA yang terlalu sempit tidak akan mampu menampung volume sampah yang sangat besar dari empat daerah tersebut. Sedangkan teknogi waste to energy yang sempat menjadi bahan studi banding banyak pemerintah daerah di Indonesia sampai sekarang ini tak ada kabar kelanjutannya.
Selain pemerintah, pihak swasta sebenarnya ikut terlibat dalam pengelolaan sampah. Pengusaha-pengusaha lokal Bali, sebut saja Pak Oles dan I Ketut Mertaadi misalnya, dan beberapa pengusaha dari Korea mendirikan pabrik pengolahan sampah. Mereka kemudian menjual hasil pengolahan sampah berupa pupuk organik, kertas daur ulang, dan bijih plastik. Pasar mereka tidak cuma di Bali, tapi juga sampai Jawa Timur dan luar negeri. Bisnis yang menjanjikan, tapi semua itu belum mampu banyak mengurangi permasalahan sampah di Bali. Paling banyak, mereka hanya mampu mengolah 5 ton sampah per harinya. Dibandingkan 10.000 ton sampah yang mengalir setiap harinya, upaya mereka tersebut terbilang sangatlah kecil.
Nilai ekonomi Sampah
Apa yang dilakukan oleh para pengusaha di atas menggunakan cara pandang yang menarik, yakni menempatkan sampah sebagai aset dan mengolahnya untuk mengembalikan nilai ekonominya. Penggunaan berbagai teknologi memang memungkinkan pengolahan sampah menjadi berbagai produk, seperti kompos (paling umum), pakan ternak, alkohol, minyak astiri, energi (biogas dan listrik) dan berbagai bentuk lainnya. Dan, jelas akan menghasilkan keuntungan finansial.
Berdasarkan data sampah padat yang ada, sampah di Bali terdiri atas 70% sampah organik dan 30% anorganik (plastik, kertas, botol, besi, dll). Jika kita menggunakan perhitungan kapasitas sampah sebesar 10.000 ton per hari, maka komposisinya: 7.000 ton sampah organik dan 3.000 ton sampah anorganik.
Jika sampah organik tersebut seluruhnya diolah menjadi pupuk organik, maka akan menghasilkan 3.500 ton pupuk organik kering (2 banding 1) yang laku di pasaran dengan harga rata-rata Rp1.000 per kg. Itu sama dengan Rp3,5 milyar, per hari!
Sedangkan dari sampah anorganik, kita bayangkan saja 50% nya adalah plastik, dapat kita kelola untuk menghasilkan produk bijih plastik (dicacah atau dipanaskan) dengan harga di pasar Rp5.000 – Rp12.300 per kg. Jika kita gunakan harga terendah, maka akan menghasilkan nilai Rp7,5 milyar (1.500 ton X Rp5.000) per hari.
Betapa luar biasa! Dari dua produk standar di atas tersebut, dapat dihasilkan pendapatan sebesar Rp11 milyar setiap hari, atau Rp330 milyar setiap bulan, atau Rp4,015 trilyun setiap tahun. Ini nilai yang tidak main-main dan sangat besar nilainya untuk mensejahterakan rakyat di Bali. Tapi, sekarang ini uang sebesar itu terbuang percuma.
Baca lanjutan tulisan ini: Membuang Rp4 Triliun Produk Peradaban (2)
Foto oleh Jeff Blades dan Walhi Bali.
Pingback: Membuang Rp4 Triliun Produk Peradaban (2) | | AkarumputAkarumput