Seni rupa pernah menjadi alat promosi wisata Bali. Made Bayak menambahkan ikon-ikon teraktual pada lukisannya: Bali yang tereksploitasi.
Pada 1920-an, di Eropa gerakan seni rupa kubisme dan ekspresionisme mulai menggelora. Namun tidak semua perupa betah pada gerakan baru yang memotong-motong alam menjadi bentuk geometris dengan kubisme, atau ekspresionisme yang menganggap alam hanya sebagai media untuk menumpahkan emosi.
Walter Spies merasa aliran baru dalam seni rupa yang muncul waktu itu membuat bakatnya pada surealistis terkurung. Ditambah ketidakbetahan pada masyarakat Eropa yang tidak menerima orientasi seksualnya, Spies bertolak menuju ke Hindia-Belanda pada Agustus 1923. Dari Batavia dia ke Yogyakarta dan pada 1927 atas undangan raja Ubud Cokorda Gede Agung Sukawati ia menetap di Bali.
Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal. Ia mulai terpengaruh oleh estetika seni rupa Bali yang ketika itu hanya menggambarkan dunia wayang dan cerita rakyat. Waktu itulah lahir lukisan-lukisannya yang memadukan misteri seni rupa Bali yang dekoratif, alami sekaligus naif dengan surealitas Barat.
Spies mulai mengarahkan para pelukis Bali untuk menggambar alam sekitar yang terlupakan dibawa ke media gambar. Pada 1935, bersama Cokorda Gde Agung Sukawati dan Rudolf Bonnet, Spies mendirikan Pita Maha. Perkumpulan ini bertujuan memberi nilai lebih kepada karya seniman Bali untuk menghadapi kecenderungan komersialisasi seni yang mulai melanda Bali.
Pita Maha memberikan bimbingan, cat dan peralatan melukis yang baru kepada seniman lokal. Kemudian mereka mempromosikan seni lukis dan patung Bali yang telah dipilih untuk dipamerkan di Jawa maupun di luar negeri. Melalui seni rupa, pesona Bali semakin harum sebagai pulau surga dengan perempuan berdada terbuka.
Jargon pulau surga berhasil mengkonstruksi Bali hingga kini. Pulau kecil ini dipaksa hidup dari industri turisme yang tak pernah puas, dan selalu haus menyerap investasi. Pembangunan infrastruktur pariwisata mengabaikan daya dukung Bali yang terbatas. Untuk satu soal, pengelolaan sampah misalnya, sampai saat ini Bali belum punya solusi menyeluruh yang ampuh. Belum lagi menahan dampak kerusakan ekologi yang ditimbulkan infrastruktur wisata.
Masyarakat Bali yang sebenarnya memuja alam sebagian telah berubah perangai. Banyak yang terlena menggadai sumber daya alam karena harga properti yang meroket. Akhirnya sebagian masyarakat Bali harus menjalani posisi sebagai sekrup-sekrup di mesin besar bernama industri turisme.
Kondisi teraktual Bali menggelisahkan sejumlah seniman, meski jumlahnya tak banyak. Salah satunya perupa Made Muliana Bayak. Bayak merefleksikan kegundahannya menjadi beragam karya rupa dari lukisan hingga instalasi, yang akan digelar dalam pameran seni rupa bertajuk “Fresh from the Oven” (Segar dan Renyah Dari Penggorengan). Pameran yang dibuka pada Jumat (20/1) dan berakhir 2 Maret 2012 ini berlangsung di Griya Santrian Gallery, Jl Danau Tamblingan 47, Sanur.
Kurator pameran ini, Wayan Jengki Sunarta pada pengantar pameran menulis, kebanyakan perupa Bali hanya sibuk meladeni selera pasar. Mereka asyik mengorek estetika yang formalistik, namun melupakan eksplorasi gagasan dan konten karya.
Pelukis-pelukis lulusan perguruan tinggi seni, misalnya, kebanyakan memilih jalan aman dan nyaman sebagai perajin lukisan. “Karya-karya yang hanya mengejar keindahan, ‘made to order’, dan berbau turistik mendominasi seni rupa Bali.
Karya-karya seperti ini turut andil mengekalkan kebohongan tentang Bali. Mereka asyik masyuk masturbasi dengan estetika, dan melupakan berbagai persoalan yang bersliweran di depan hidungnya,” sebut Jengki.
Pada karya-karyanya yang dipamerkan, Bayak mengkritik lukisan “Sukawatian”, lukisan tiruan Mooi Indie yang banyak dijual di pasar-pasar dan toko seni dan oleh-oleh di Bali. Lukisan “Sukawatian” menggambarkan eksotisme Bali, dengan ikon-ikon keindahan yang itu-itu saja, seperti pemandangan sawah, desa yang permai, atau perempuan telanjang dada. Padahal kenyataannya, sawah-sawah di Bali mulai digerus oleh kehadiran hotel-hotel dan vila. Kesopanan modern juga telah menutup dada perempuan lokal, sementara para turis menikmati kebebasannya membuka dada.
Bayak mereproduksi ikon-ikon lukisan turistik dan menambahkan ikon-ikon baru yang sesuai dengan kondisi Bali teraktual: tulisan “SOLD”, barcode, simbol mata uang dollar. Dia juga menambah ornamen-ornamen kenyataan baru pada lukisan pemandangan seperti tembok batu, papan iklan tanah dijual, atau mengganti kereta sapi petani dengan excavator.
Pada karya-karyanya Baya tidak menunjukkan penjelejahan teknik. Pamerannya murni demi muatan pesan. Bila dulu Spies memanfaatkan seni rupa sebagai alat promosi wisata, sebaliknya Bayak ingin mempromosikan kerusakan Bali akibat industri wisata.