Yu Sing memberi contoh efektif arsitektur yang memanfaatkan material bekas dan ramah lingkungan.
“Cintai Produk Indonesia Kalau Bisa 100 %”
Pesan itu tertulis dengan kapur pada sebidang papan tulis di sisi luar sebuah dapur. Jendela lipatnya membuat dapur itu tampak seperti warung. Gelas-gelas, panci, talenan, katel, dan irus atau alat untuk mengaduk masakan dari tempurung kelapa tampak tergantung di sana.
Kesan warung itu semakin lengkap dengan bangku panjang dari bambu yang ditemoatkan di luar dapur. Di dalam, kerat-kerat minuman bekas berwarna kuning dan merah, disusun untuk menyimpan bumbu dapur dan bahan-bahan masakan.
Dapur itu terletak di samping pintu masuk Studio Akanoma. Yu Sing Lim (35 tahun) bersama Benyamin Narkan, Anjar Primasetra, Peter Antonius, Iwan Gunawan, Wilfrid, dan Yopie Herdiansyah menggunakan joglo sebagai bangunan utama studionya. Mereka memperlakukannya dengan cara yang berbeda, menjadikan joglo sebagai rumah panggung, seperti rumah tradisional di Kalimantan.
Bangunan khas Jawa ini sudah dimodifikasi pada bagian dinding-dindingnya. Sebagai pengganti dinding kayu, mereka memasang daun jendela yang bilah-bilahnya diisi triplek berwarna-warni dan kaca nako. Pemandangan ini terlihat mengelilingi joglo.
Di bagian dalamnya, tidak ada sekat. Meja-meja disusun berdampingan dengan komputer di atasnya. Para arsitek itu bekerja di dalam studio dengan suasana rumahan. Empat pilar di dalam joglo berfungsi ganda sebagai rak buku. Untuk penyimpanan dokumen, digunakan keranjang plastik bekas yang biasanya dipakai untuk menyimpan sayuran di pasar-pasar.
Kehadiran bambu di studio ini tampak mendominasi. Perancangnya seperti mengoptimalkan kelebihan dari bambu yang elastis sekaligus kuat. Selain menjadi alas studio, bambu-bambu berukuran besar dipakai sebagai kolom pada bangunan.
Optimalisasi bambu itu juga terlihat pada bagian dinding ruangan yang di bagian belakang studio. Di situ ada ruangan untuk bertemu dengan klien dan kamar tidur untuk staf serta tamu yang ditutup dengan bambu-bambu yang dipasang vertikal dan horizontal. Untuk pemasangan horizontal, menggunakan bambu berbagai ukuran, dari yang diameternya sebesar kelingking sampai yang sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Penggunaan barang bekas juga tampak di kamar mandi. Dia membuat kombinasi botol-botol kaca yang sudah tidak terpakai dengan dinding bata yang terekspos teksturnya. Selain berfungsi sebagai gantungan baju, botol-botol itu bisa merefleksikan cahaya alami ke dalam kamar mandi.
Untuk tangga, Yu Sing juga memakai bambu. “Murah dan itu alternatif yang sangat baik,” kata dia. Bagian tangga yang ada di sisi kanan depan bangunan itu ditutupi dengan kaca bekas mobil. Kaca-kaca cembung itu dijepit dan diikat dengan kawat ke tiang-tiang bambu. “Kita perlu area itu transparan. Ternyata di kampung sini ada pengepul (penampung) kaca mobil bekas, jadi kita foya-foya dengan itu. Lumayan murah harganya,” kata arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung ini.
Bangunan dua lantai yang posisinya berada pada ketinggian 700 meter dari permukaan air laut ini terlihat menjulang di tengah-tengah perkampungan.
Studio di atas lahan 650 meter persegi ini jauh dari suasana perkotaan, tepatnya di Jalan Tipar Timur, Desa Laksana Mekar, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya lebih dekat ke ruas tol Purbaleunyi (Purwakarta-Bandung-Cileunyi) daripada ke Kota Bandung. “Karena dana kita terbatas,” kata Yu Sing.
Sebelumnya, Yu Sing mengontrak rumah sebagai studionya. Namun biaya kontrak itu dirasakan cukup membebani. Pada saat bersamaan, Iwan, drafter Akanoma yang mencari tanah buat membangun rumah menawarkan sebidang lahan di sebelah barat Kota Bandung. “Dia cari tanah dan kebetulan tanahnya besar. Akhirnya sharing dibagi tiga dan (studio) dibangun semurah mungkin,” ungkap dia.
Komponen utama studio, joglo yang pada bagian puncaknya ada dua patung ayam itu dibeli dari Solo. “Joglo kita angkut setelah berbulan-bulan dibeli. Karena dulu belum ada uang untuk membangun kantor. Waktu beli joglo, kantor ini malah belum dirancang,” terang penulis buku Mimpi Rumah Murah ini.
Studio Akanoma menjadi representasi dari misi Yu Sing sebagai seorang arsitek. Dia percaya, arsitektur harus mengakar. Bagi Yu Sing, joglo sebagai komponen utama bangunan dengan modifikasi bambu menggambarkan peranan arsitektur Nusantara pada masa kini.
“Saya punya harapan mewujudkan kampung kota lestari. Supaya perkampungan tidak tergusur dan menjadi korban pembangunan. Sudah seharusnya perkampungan tetap ada dan masyarakatnya bisa hidup sejahtera dan nyaman. Studio kami ada di kampung sehingga kami menyediakan perpustakaan dan ruang sosial buat warga,” kata Yu Sing merujuk pada selasar dan perpustakaan umum di bawah studionya.
Sayangnya, kata Yu Sing, masyarakat di sekitar studio itu belum pernah menggunakan ruang sosial itu untuk pertemuan. “Kalau mereka butuh, silakan memakai tempatnya. Yang sudah berjalan itu perpustakaan, hampir setiap sore ada anak-anak yang membaca buku di sana. Buku-bukunya itu sumbangan dari orang-orang,” ungkap dia.
Yu Sing juga berupaya menyesuaikan bangunannya menjadi ramah lingkungan. Arsitek yang membiarkan rambut panjangnya terurai ini sengaja memperpanjang tritisan atap joglo, kemudian memasang beberapa batang pipa besi secara miring membentuk huruf V sebagai penyangganya.
Pipa-pipa ini menyambung pada talang di sekeliling atap. Fungsinya sebagai penyangga sekaligus pipa untuk mengalirkan air hujan ke sumur resapan.
Selain ramah lingkungan, Akanoma juga berusaha mencukupi kebutuhan pangan sendiri dengan menanam tanaman sayuran di sekililing studio.
“Sudah ada kemangi, kacang panjang, terong, leunca, cengek (cabe rawit), timun suri, singkong, kenikir, dan lain-lain. Ada juga kolam buat merendam bambu yang sekarang jadi tempat ternak ikan nila. Sudah sering dimakan juga. Karena kalau mau keluar agak jauh, akhirnya masak sendiri” kata dia.
Pingback: Akanoma, an architecture firm anomaly (1) – kitchencouncilideas.info
Pingback: 111-Acre Village at Playa Vista Moving Forward; 'Runway' Retail Center to Be … | Recording Studio