Dari pinggiran kota Bandung, Akanoma membuat arsitektur tidak menjadi privilese bagi orang kaya.

Kebersahajaan Studio Akanoma tidak bisa dilepaskan dari idealisme Yu Sing sebagai seorang arsitek. Menurut dia, setiap orang berhak bertumbuh dan berkembang di dalam rumah yang inspiratif dan menyenangkan. Sayangnya, masyarakat masih memandang jasa arsitek hanya untuk mereka yang kaya.

Menurut dia, masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah juga berhak mendapatkan jasa arsitek dalam pembangunan rumahnya. “Peran arsitek bisa memberi pengaruh membentuk rumah itu jadi banyak sensasi ruang yang berbeda-beda,” kata pengagum mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, arsitek dan budayawan yang akrab dipanggil Romo Mangun itu.

Minat Yu Sing mendesain rumah murah berawal dari permintaan untuk merancang rumah paman dari seorang teman kerjanya. Dengan anggaran kurang dari Rp60 juta, Yu Sing memanfaatkan kembali bahan-bahan dari rumah yang dibongkar.

Rumah di daerah Caringin, Bandung itu dia desain sebagai rumah tumbuh, yang bisa dibangun bertahap sesuai dengan ketersediaan dana pemilik.

Rumah dibuat bertingkat dua, agar masih tersedia ruang terbuka hijau dan daerah resapan. Dinding dibangun dengan beton bertulang agar tahan gempa. Bahan fiber semen digunakan untuk atap, agar lebih murah. Atap pun didesain agar bisa menampung air hujan, yang melalui proses penyaringan sederhana, akan dapat digunakan lagi.

Yang membuat rumah ini unik, bekas genting rumah lama dipakai untuk menutupi dinding batu bata rumah bangunan baru. Karakter warna acak pada genting menciptakan pola yang menarik. “Saya mau membantu karena saya juga susah membangun rumah. Dana terbatas. Dari sana mulai bantu rumah murah dan buat tulisan eksplorasi rumah murah,” kata dia.

Di ujung tulisannya, Yu Sing menyebut cita-citanya untuk mendesain 100 rumah murah. “Banyak kalangan menengah bawah yang perlu peran arsitek tapi selama ini kurang terlayani. Saya ambil komitmen untuk membantu itu,” kata Yu Sing.

Ternyata tulisan itu mendapatkan respon luar biasa. “Pada tahun pertama saja ada 80 keluarga yang menghubungi saya,” ujar dia.

Calon kliennya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari Papua dan Kalimantan. Mereka menghubungi Yu Sing lewat telepon dan surat elektronik. “Dari 80 keluarga itu yang akhirnya dikerjakan sekitar 20 rumah, tapi tidak semuanya jadi juga. Alasannya uangnya terpakai, jadi ditunda (membangun rumah),” ujar dia.

Untuk membantu desain rumah murah ini, Yu Sing mematok fee jasa sebesar tiga persen dari nilai total proyek. Patokan harga itu berlaku buat mereka yang membangun rumah dengan kisaran biaya Rp 250 juta ke bawah. Kalau sudah lebih dari itu, dikenakan fee sebesar 5-7 persen sesuai dengan standar di Ikatan Arsitektur Indonesia.

“Selama ini, mereka yang mampu saja tidak semuanya menggunakan jasa arsitektur, jadi wajar kalau buat rumah murah harus bisa menjangkau kalangan bawah.”

Para arsitek di Studio Akanoma juga punya konsep lain untuk membantu desain rumah murah seperti yang mereka kerjakan sekarang ini di daerah Dago Giri, Kabupaten Bandung. Rumah murah itu milik Uway, seorang tukang ojek. Pembangunan rumah itu diproyeksikan menelan dana Rp27 juta. Untuk desain rumah Uway ini, Studio Akanoma tidak menarik biaya jasa. “Komitmen kami untuk yang kemampuan dananya kurang dari Rp40 juta, kita buatkan desain secara gratis,” kata dia.

Namun Uway tidak memiliki uang untuk membangun rumahnya yang sudah tidak layak huni itu. Bersama kawan-kawannya, Yu Sing mengagas konsep donasi untuk membantu Uway membangun rumah tumbuh yang lantai satunya berukuran 4 x 6 meter.

“Kami membantunya mencari donatur dengan cara menjual desain di jejaring sosial. Sampai sekarang donasinya masih berjalan. Dari kebutuhan Rp27 juta, Uway bisa menyediakan sendiri sekitar Rp10 juta, jadi tinggal dicari sisanya, Rp17 juta,” kata Yu Sing.

Apabila seluruh donasi itu sudah terkumpul dan pembangunan rumah selesai, maka Uway harus menggantinya dengan cara mencicil. Harapannya, donasi itu bisa digunakan untuk orang lain yang membutuhkan dana untuk membangun rumah murah dengan cara serupa.

Yu Sing mendapatkan kepuasan tersendiri apabila berhasil membantu orang lain untuk membuat rumah yang sesuai dengan kepribadiannya. Karena desain rumah untuk satu orang belum tentu cocok untuk orang lain. “Desain rumah harus kuat, sesuai konteks. Harus dieksplorasi agar rumahnya inspiratif dan menyenangkan. Ekstrimnya kalau tempat hidup sumpek itu akan pengaruh ke mental dan pikiran,” kata ia.

Untuk menularkan ide serupa, Yu Sing mencoba membuat jaringan dengan mengajak arsitek lain dari luar Bandung. Pembentukan jaringan ini tidak lain untuk memenuhi harapan masyarakat di luar Bandung yang ingin membangun rumah murah. “Sekarang sudah ada teman dari Jakarta, Depok, Balikpapan, dan juga di Semarang yang saya ajak kolaborasi. Idealnya di setiap daerah ada, sehingga arsiteknya bisa bertemu dengan klien, melihat lokasi dan membantu pengawasan saat pembangunan,” kata Yu Sing.

Jaringan arsitek di daerah-daerah dikelola lewat internet. Sehingga, nantinya setiap arsitek yang bersedia membantu desain dan membangun rumah murah itu bisa terpantau dengan mudah. “Kalau ada arsitek senior yang mau membantu dan setahun hanya mau mengambil tiga rumah saja, dia tinggal buka statusnya bisa membantu,” terangnya

Yu Sing optimis konsep ini bisa berjalan karena dia meyakini dalam diri setiap orang ada semangat untuk berbagi. Setidaknya semangat itu yang dia gunakan untuk menjalankan keberpihakan dalam profesinya. Tetap mengakar dan bersikap berbeda atau menjadi anomali justru bisa lebih memberi manfaat bagi orang lain.

Related Posts: