Banyak masakan tradisional Bali di ambang kepunahan. Praktek pertanian modern seperti penggunaan pestisida membuat bahan masakan tradisional kian sulit didapat.
Lawar, ayam betutu, babi guling, hanya bagian kecil dari sekian banyak masakan tradisional Bali. Siapa yang mengetahui atau masih rajin mengonsumsi masakan bernama kuah be nyawan dan pesan be nyawan? Kedua masakan ini berbahan dasar rumah tawon.
Rasa pesan be nyawan cenderung pedas manis karena pengaruh bumbu lengkuas, cabe jawa, ketumbar,daun jinten, dan cengkeh. Sementara bumbu be nyawan adalah kelapa, bawang jahe, kencur, dan cabai.
Saya beruntung sempat mencicipi masakan ini untuk pertama kalinya di Warung Tresni, Jl Drupadi Denpasar. Ini bukan menu tetap di Warung Tresni. Sebab bahannya semakin sulit didapat. Di pasar tradisional di Denpasar tidak selalu ada. “Kalau ada yang bawa rumah tawon, saya siap membuat. Biasanya teman-teman yang bawa dari kampung dan mereka minta saya buat,” kata pengelola Warung Tresni, I Ketut “Gogonk” Pramana.
Gogonk dan rekan-rekannya di Warung Tresni berkomitmen untuk melestarikan masakan tradisional. Sampai saat ini mereka sudah mendokumentasi 40 menu masakan tradisional Bali yang hampir punah. Contoh menu lain yang hampir punah adalah jubel manis. Bumbu pendukungnya adalah jeruk limau, minyak kelapa dan kelapa bakar parut.
Jubel adalah fase metamorfosis capung. Setelah menetas, tempayak (larva) capung hidup dan berkembang di air. Tempayak yang bermetamorfosis menjadi nimfa capung atau jubel. Tempayak dan nimfa capung adalah hewan karnivora yang ganas. Nimfa capung bisa memangsa berudu dan anak ikan. Jubel juga predator wereng. Namun karena pola pertanian modern yang mengandalkan pestisida untuk membunuh wereng, maka jubel pun ikut punah bersama makanannya. “Dulu saya kecil di sawah sering cari jubel. Anak kecil sekarang siapa yang tahu jubel” kata Gogonk.
Menu tradisional Bali yang didokumentasikan Gogonk umumnya lahir dari kebiasaan masyarakat agraris. “Petani karakternya mereka menyantap makanan yang pengolahannya cepat. Karena mereka harus pergi pagi-pagi dan pulangnya mereka cukup lelah setelah bekerja di ladang. Jadi proses pembuatan makanan mereka sederhana,” kata Gogonk.
Menurut Gogonk pergeseran gaya hidup masyarakat juga menyusutkan popularitas masakan tradisional Bali. Dari segi bumbu, kata dia, sebenarnya tidak ada yang sulit.
Ada bahan dasar yang sangat berperan pada citra rasa masakan tradisional Bali dan berhubungan erat dengan filosofi Bali serta simbol Swastika agama Hindu. Empat bahan dasar itu adalah lengkuas [melambangkan Brahma; warna merah; dan posisinya di selatan], kunyit [Mahadewa; warna kuning; posisinya di barat], jahe [ Wisnu; warna hitam; utara], dan kencur [Iswara; warna putih; posisinya di timur].
Menurut Gogonk, empat konsep dasar ini merupakan patokan dirinya dalam memasak, yang selanjutnya bisa diracik dengan bumbu pelengkap seperti bawang merah, bawang putih, cabe, garam, terasi, dan rempah-rempah. Gogonk menambahkan, dari semua bumbu pelengkap itu rempah-rempah adalah kuncinya, apakah masakan itu bisa enak, biasa-biasa saja, atau tidak ada rasanya sama sekali.
“Bumbu-bumbu itu disebut juga ‘mother sauce’ yang memiliki makna keseimbangan dalam konsep hidup,” jelas Gogonk.
Keseimbangan dalam konsep hidup. Hal yang menarik untuk dipikirkan. Apalagi di tengah ketidakseimbangan pola hidup modern yang bisa memusnahkan masakan warisan leluhur.